Tampilkan postingan dengan label catatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label catatan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 Juni 2011

MALAIKAT KECIL " Subhanalloh... ^_^ kalian harus baca...



Setiap hari Jum’at, selepas menunaikan shalat Jum’at, seorang Imam dan anaknya yang berusia 9 tahun selalu berjalan menyusuri jalan di kota kecil itu dan menyebarkan buletin “Jendela Surga” dan beberapa tulisan Islami yang lain.

Pada satu Jum’at, hari dimana Imam dan anaknya itu biasa keluar untuk membagi-bagikan buletin Islam itu, cuaca amat dingin dan hujan mulai turun.
Anak kecil itu mengenakan jas hujan seraya berkata “Ayah, Saya sudah siap..!”
Ayahnya terkejut dan berkata “Siap untuk apa?”.
 “Lho, bukankah ini saatnya kita keluar untuk membagi-bagikan buletin Risalah Allah ini, ayah”
“Anakku! di luar hujan begitu lebat dan udara sangat dingin”
“Ayah, bukankah di sana masih ada manusia yang bisa tersesat dan masuk neraka ketika hujan turun?”
Ayahnya menambah “Iya, tapi Ayah tidak sanggup keluar dalam cuaca begini”
Dengan merajuk anaknya merayu “Ijinkan aku pergi ya, ayah?”

Ayahnya merasa agak ragu namun menyerahkan buletin-buletin itu kepada anaknya. “Pergilah nak dan berhati-hatilah. Allah bersamamu!”
“Terima kasih Ayah” Dengan wajah berseri-seri anak itu pergi meredah hujan dan tubuh kecil itu hilang dalam kelebatan hujan.

Anak kecil itu pun membagikan buletin tersebut kepada siapa saja yang dijumpainya. Begitu juga dia mengetuk setiap rumah dan memberikan buletin itu kepada penghuninya.

Setelah dua jam, hanya tersisa satu buletin “Jendela Surga” ada pada tangannya. Dia merasa tanggungjawabnya belum tuntas jika masih ada artikel di tangannya.
Dia berputar-putar ke sana ke mari mencari siapa yang akan diberi buletin terakhirnya itu namun gagal.

Akhirnya dia melihat satu rumah yang agak menjorok kedalam dari jalan itu, kemudian dia langkahkan kakinya menghampiri rumah itu. Begitu sampai di depan rumah itu, ditekannya bel rumah itu sekali. Ditunggunya sebentar, dan ditekan sekali lagi namun tiada jawaban. Diketuk pula pintu itu namun tidak juga ada jawaban.
Seolah ada sesuatu yang menahannya sehingga anak itu enggan pergi. Mungkin rumah inilah harapannya agar artikel ini diserahkan, pikirnya.. Dia pun mengambil keputusan menekan bel sekali lagi.
Akhirnya pintu rumah itu dibuka.

Di depan pintu berdiri seorang perempuan sekitar umur 50 tahun.
Wajahnya muram dan sedih. “Nak, apa yang bisa ibu bantu?”
“Ibu, maaf saya mengganggu, saya hanya ingin menyampaikan kabar gembira dari Allah. Karena sesungguhnya Allah amat sayang dan senantiasa memelihara Ibu. Saya datang hanya ingin menyerahkan buletin terakhir ini dan Ibu adalah orang yang paling beruntung”. Dia senyum dan tunduk hormat sebelum melangkah pergi.
“Terima kasih nak, Tuhan akan melindungi kamu”  jawabnya dengan nada yang lembut.

Minggu berikutnya sebelum waktu shalat Jum’at dimulai, seperti biasa Imam naik ke atas mimbar untuk memberikan informasi tentang kegiatan di masjid itu seminggu terakhir. Sebelum selesai, dia bertanya ” Ada yang ingin bertanya sesuatu?”

Tiba-tiba ada yang bangun dengan perlahan dan berdiri. Dia seorang perempuan separuh baya.
“Maaf, saya rasa di masjid ini tidak ada yang mengenal saya. Saya tak pernah hadir ke majlis ini. Untuk anda sekalian ketahui, bahwa saya bukanlah orang Islam.
Suami saya meninggal beberapa tahun yang lalu dan meninggalkan saya seorang diri di dunia ini...” Air mata mulai menggenang di kelopak matanya.
“Pada hari Jum’at lalu saya mengambil keputusan untuk bunuh diri. Saya ambil kursi dan tali. Saya ikat ujung tali di eternit atas dan ujung satu lagi saya lilitkan di leher. Ketika saya hendak melompat, tiba-tiba bel rumah saya berbunyi. Saya tunggu sebentar, dengan anggapan, siapa pun yang menekan itu akan pergi jika tidak dijawab. Tetapi ia bunyi lagi. Kemudian saya mendengar ketukan dan bel ditekan sekali lagi”.
“Saya jadi penasaran siapakah yang datang, sehingga saya lepaskan tali di leher dan terus pergi ke pintu.”

“ Ternyata seorang anak kecil..! Seumur hidup belum pernah saya melihat anak yang semanis itu. Senyumannya benar-benar ikhlas dan suaranya seperti malaikat:  “Ibu, maaf saya mengganggu, saya hanya ingin menyampaikan kabar gembira dari ALLAH karena sesungguhnya Allah amat sayang dan senantiasa memelihara Ibu...”  Itulah kata-kata yang paling indah yang penah saya dengar”.
“Saya melihatnya pergi kembali menyusuri hujan. Saya kemudian menutup pintu, lalu membaca buletin jumat itu. Akhirnya kursi dan tali saya letakkan kembali ditempat semula.
“Aku tak memerlukan itu lagi..!”.

“Terima kasih Tuhan, sekarang saya telah menjadi tenang kembali dan bahagia.
Di belakang buletin terdapat alamat masjid ini, dan itulah sebabnya saya di sini hari ini, dan saya ingin masuk Islam...
Jika tidak disebabkan malaikat kecil yang datang pada hari itu tentu saya sudah menjadi penghuni neraka...”

Seluruh jamaah di masjid itu terpana mendengar cerita ibu itu. Tanpa terasa air mata mereka meleleh di pipi. Tiba-tiba terdengar mereka bertakbir: “ALLAHU AKBAR...!”

Sang Imam lantas turun dari mimbar, mendatangi anaknya yang ada di bawah mimbar, kemudian ia peluk anaknya dengan erat. Tak terasa air matanya pun mengalir...

Hari Jum’at ini adalah hari paling indah dalam hidupnya. Tiada anugerah yang amat besar dari hari ini. Yaitu anugerah yang sekarang berada di dalam pelukannya. Seorang anak sholeh yang berbudi pekerti luhur. “Ia adalah malaikat kecilku...”

Biarkanlah air mata itu menetes.
Air mata itu anugerah ALLAH kepada makhlukNya yang penyayang...

Selasa, 24 Mei 2011

Perjalanan Cinta Selalu Mengharukan







Cerita ini adalah kisah nyata… 
dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri dalam sebuah laptopnya.
Bacalah,  
semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua.
***
Cinta itu butuh kesabaran…
Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???
Hari itu.. aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita..
Aku menjadi perempuan yg paling bahagia…..
Pernikahan kami sederhana namun meriah…..
Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.
Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula.
Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.
Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu..
Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci….
Aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku… sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku.
Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.
***
Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami.
Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya.
Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku…
Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA.
Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku…
Didepan suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku, aku dihina-hina oleh mereka…
Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku menjadi seorang janda itu.
Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu menemaninya siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al – Qur’an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.
Namun saat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga.. aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab  mengobrol dengan ibu mertuaku. Mereka tertawa menghibur suamiku.
Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suami ku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.
Kubuka pintu yang tertutup rapat itu  sambil mengatakan, “Assalammu’alaikum” dan mereka menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup.
Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”, ia pun menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.
Lalu.. Ibu nya berbicara denganku …
Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri”.
Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan tersebut,aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.
Aku sibuk membersihkan & mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Kemudian aku pun menemaninya.
Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, ”lebih baik kau pulang saja, ada
kami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja.
Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku. Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang sama. Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah ataupun tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.
Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.
***
Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain.
Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggil ku ke taman belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.
Aku bertanya, ”Ada apa kamu memanggilku?
Ia berkata, ”Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang
Aku menjawab, ”Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di travel bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan?
Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mama ku”, jawabnya tegas.
Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?“, tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.
Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas.
Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?”, lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya.
Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.
Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat sayang padaku.
Kemudian aku memutuskan agar ia saja yg pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.
Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.
Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku, lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya.
Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama-sama kemana pun ia pergi.
Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku.
Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya.
Sampai keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.
***
Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.
Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3.
Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi..
Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku.
Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya, “kapankah ia segera pulang?” aku tak tahu..
Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku..
Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang.
Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung…
Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk.
Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.
Ia menulis, aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi, aku akan kabarin lagi.
Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah.
Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini.
Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami.
Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya..
Masya Allah.. ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku..
Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta.
Biasa nya kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengeelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at.
***
Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi.
Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?
Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuakudan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, Loe pikir aja sendiri!!!”. Telpon pun langsung terputus.
Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku.
Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah.
Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu pedoman yang aku pegang.
Aku hanya berdo’a semoga suamiku sadar akan prilakunya.
***
Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan.
Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiakan segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.
Bersyukurlah.. aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.
Sungguh.. suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.
Ya, ada apa Yah! sahutku dengan memanggil nama kesayangannya “Ayah”.
Lusa kita siap-siap ke Sabang ya. Jawabnya tegas.
Ada apa? Mengapa?, sahutku penuh dengan keheranan.
Astaghfirullah.. suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.
Dia mengatakan Kau ikut saja jangan banyak tanya!!
Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.
Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.
Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku..
***
Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk ibu & adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini..
Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.
Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yg berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul diruang tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada ditengah rumah besar itu, yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.
Kemudian aku duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya.
Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan.
Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha”. Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.
Ada apa ya Nek? sahutku dengan penuh tanya..
Nenek pun menjawab, “Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!!“.
Aku menangis.. untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?
Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia dengan kau. Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.
Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.
Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya”, neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu.
Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu.
Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, “kau maunya gimana? kau dimadu atau diceraikan?
MasyaAllah.. kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku..
Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau
kayu, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.
Fish, jawab!.” Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.
Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas.
Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami.
Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.
Aku lalu bertanya kepada suamiku, Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatku dirumah kita nanti, yah?
Suamiku menjawab, ”Dia Desi!
Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, ”Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.
Ayah mertuaku menjawab, “Pernikahannya 2 minggu lagi.
Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok”, setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.
Tak tahan lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi akutnya penyakitku..
Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini?
Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, sudah tidak cantikkah aku ini?
Ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.
Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri dibelakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu.
Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, “terima kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?.
Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo.
Dalam hatiku bertanya, mengapa ia sangat cuek? dan ia sudah tak memanjakanku lagi. 
Lalu dia berkata,  sudah malam, kita istirahat yuk!
Aku sholat isya dulu baru aku tidur, jawabku tenang.
Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku.
Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya itu.
***
Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.
Di laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Aku
save di mydocument yang bertitle “Aku Mencintaimu Suamiku.”
Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.
Apakah kamu sudah siap?
Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :
Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu..”, 
perkataanku terhenti karena tak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak.
Tiba-tiba suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?
Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar…
Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?
pintaku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.
Dia mengangguk dan berkata, ”Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?”, sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja.
Dia tersenyum sambil berkata,Kita liat saja nanti ya!”. Dia memelukku dan berkata, “bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama.
Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata,  
Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa aku tidak pernah berzinah! Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah. 
Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata, 
Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah”.
Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis.
Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, bunda baik-baik saja kan? 
tanyanya dengan penuh khawatir.
Aku pun menjawab, bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang“. 
Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. 
Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.
***
Setelah tiba dimasjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku.
Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat akan kondisiku.
Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya… aku kuat.
Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu.. hatiku menangis.
Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini?
Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu, yang di musuhi.
Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam sana.
Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.
Kamu datang ke sini, aku pun tahu”, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, “maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku
Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini..
Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?
Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.
Aku pun berkata, Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?
Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois.” Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.
Lalu suamiku berkata, Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda.. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah dan satu lagi.. ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat “seperti itu” dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip (“seperti itu”). Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalau bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda
Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.
Aku hanya menjawab, Aku sudah ceritakan itu kan Yah. Aku tidak pernah berzinah dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu.
Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian dikamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga.
Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.
***
Keesokan harinya…
Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku.
Aku pun dilarikan ke rumah sakit..
Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..
Aku merasakan tanganku basah..
Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.
Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, ”Bunda, Ayah minta maaf…
Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?
Aku berkata dengan suara yang lirih, Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah..
Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang banget sama Ayah.
Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi..
aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata.
Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil.
Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku..
Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka..
Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah.
Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.
Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo’a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap sebaliknya.”
***
Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.
=====================================================
Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku?
Aku dihina oleh mereka ayah.
Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?
Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik iparku tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat Ayah..
Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah?
Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah..
Aku diusir dari rumah sakit.
Aku tak boleh merawat suamiku.
Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku.
Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku.
Aku sangat marah..
Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan
ibunya..
Aku tak mau sakit hati lagi.
Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku..
Engkau Maha Adil..
Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..
Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku..
Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu..
Aku kuat ayah dalam kesakitan ini..
Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku..
Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah..
Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu.
Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui.
Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku.
Aku harus sadar diri.
Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu.
Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?
Ayah.. aku masih tak rela.
Tapi aku harus ikhlas menerimanya.
Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya.
Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku.
Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir.
Sebelum ajal ini menjemputku.
Ayah.. aku kangen ayah..
=====================================================
Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..
Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini.
Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.
Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.
Bunda akan selalu hidup dihati ayah.
Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..
Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.
Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, hidup dalam kesendirianmu..
Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus.
Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..
Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.
Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku..
Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang.
Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.
Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana?
Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia dialam sana?
Tunggulah Ayah disana Bunda..
Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..
Ayah Sayang Bunda..
***

Rabu, 04 Mei 2011

KISAH POHON APEL


Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.
Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. “Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel itu. “Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu. “Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.” Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang… tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.” Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. “Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel. “Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu. “Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?” “Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel. Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya. “Ayo bermain-main lagi deganku,” kata pohon apel. “Aku sedih,” kata anak lelaki itu. “Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?” “Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.” Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. “Maaf anakku,” kata pohon apel itu. “Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu.” “Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,” jawab anak lelaki itu. “Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon apel. “Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak lelaki itu. “Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata. “Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki. “Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.” “Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.” Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.
Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.
Semoga Allah senantiasa selalu Memberikan Qt smw Cinta yg Ikhlas trHadap Ummi2 Qt, Sehingga baik dlm keadaan suka maupun Duka Qt selalu Ingat kpda Ummi..
My Love Ummi B’cause Allah SWT…

Sabtu, 30 April 2011

AKIBAT SAMA SEBAB BERBEDA: Burung Kakaktua&Penjaga Warung









AKIBAT SAMA SEBAB BERBEDA
Seorang penjaga warung makan mempunyai seekor burung Kakaktua yang cantik, yang selalu menemaninya, menghibur para pelanggannya, dan bila sang penjaga itu tidak ada di kedainya, maka sang Kakaktua ini bisa menggantikannya.
Suatu ketika, sang penjaga warung pergi keluar untuk melaksanakan shalat, sementara sang Kakaktua mengawasi warung dari rak atas. Tiba-tiba, seekor kucing melompat menerkam seekor tikus. Kakaktua itu sangat kaget sampai-sampai ia terbang dan menabrak kendi minyak wangi.
Ketika sang penjaga warung kembali dan melihat kendi minyak wanginya telah tumpah, ia pun marah.
Lalu diambilnya tongkat dan memukulnya pada kepala burung Kakaktua berkali-kali, sehingga kepala burung yang malang itu rontok bulu-bulunya.
Sang Kakaktua, yang kini kepalanya botak itu, bertengger di atas rak pojok sambil merenungi nasibnya yang malang itu. Selama berhari-hari, dia tidak mau membuka mulut. Sang penjaga warung kini menyesali perbuatannya. Dia berusaha sekuat mungkin agar Kakaktua kesayangannya bersedia berbicara lagi. Tapi, segala upaya tak jua membuahkan hasil.
Suatu hari, ketika burung itu sedang bertengger diam di atas rak, seorang pelayan yang berkepala botak masuk ke dalam warung, segera sang Kakaktua turun dan berbicara kepada “tamu” itu, “pasti Tuan habis menumpahkan kendi minyak wangi kan??!!”

==============================      *_*     ==========================

Akibatnya boleh sama, tapi sebabnya bisa berbeda-beda.
Jadi, menyimpulkan sebab dari akibat tidaklah selalu benar.
Malas memang bisa menjadikan orang itu miskin, tapi kita tak bisa menyimpulkan bahwa ketika kita bertemu dengan orang miskin lalu kita menuduhnya malas. Malas belajar memang bisa menjadikan orang bodoh, tetapi ketika kita bertemu orang yang bodoh tak boleh menyimpulkan bahwa dia pasti malas belajar.
Ini logika yang harus kita camkan selalu............................

Melihat Mutiara dari Balik Butiran Pasir


Renungan berikut saya sarikan dari buku karangan Mustamir, diterbitkan oleh Diva Press cetakan tahun ke II, Januari 1999.
 
Saudaraku, kira-kira apa yang mendorong orang untuk mau bersusah payah belajar, mengendalikan emosi, menahan amarah, dan mengatur suasana hatinya? Mungkin mereka melakukannya demi materi, demi mendapatkan suami/ istri, dan demi-demi yang lain. Disinilah peran kecerdasan ke-3 ini, yaitu kecerdasan spiritual.
Ciri-ciri terdapatnya Kecerdasan Spiritual :
1.       Mengenal motif kita yang paling dalam.
2.       Memiliki tingkat kesadaran yang tinggi.
3.       Bersikap responsif terhadap diri yang dalam.
4.       Mampu memanfaatkan dan mentrandensikan kesulitan.
5.       Sanggup berdiri, menentang, dan berbeda dengan orang banyak (tentunya berbeda
           yang positif).
6.       Enggan mengganggu atau menyakiti orang dan makhluk lain.
7.       Memperlakukan agama secara spiritual (bukan hanya hukum formal).
8.       Memperlakukan kematian secara cerdas-spiritual.
Simaklah cerita berikut (ini bukan cerita humor, tapi bila ingin tertawa, ya tertawa saja!) :
Tiga orang kuli sedang membangun sebuah masjid, kemudian mereka ditanya seseorang. “Apa yang sedang Bapak lakukan?”
“Aku sedang mengaduk pasir”, kata kuli pertama, malas.
“Kalau aku sedang membangun masjid”, kuli kedua yang juga sedang mengaduk pasir menjawab dengan bersemangat.
“Ah, kalian salah. Kita sedang membangun surga!” kata kuli ketiga lebih bersemangat.              
Nabi Agung Muhammad SAW bersabda, “Segala sesuatu tergantung niatnya”. Kuli pertama berniat mengaduk pasir, yang akan dia dapat adalah adukan pasir. Kuli kedua berniat membangun masjid, dia mendapat bangunan masjid. Yang ketiga berniat membangun surga, maka surgalah yang kelak didapatkannya.
Kecerdasan SQ adalah kemampuan tuk mengenali dan memahami motivasi-motivasi hidup yang menuntun seseorang menentukan atau memilih motivasi dalam hidupnya. Secara sederhana, SQ adalah kemampuan seseorang untuk IKHLAS. (menurut penulis buku tsb). Orang ikhlas itu tak mudah putus asa, bahkan mampu melihat MUTIARA DI BALIK PASIR YANG TAK BERNILAI.
Orang yang cerdas spiritual, akan menggantungkan dirinya kepada Dia yang Esa. Dia teguh pendirian, namun hatinya penuh belas kasih dan sayang pada sesama karna kesadarannya, bahwa dunia adalah cermin “keberadaan”-Nya. Ketika melihat dunia, ia seakan-akan SEDANG MELIHAT TUHAN. Dan ketika mengingat Tuhan, tumbuhlah kasih sayangnya pada semua makhluk ciptaan-Nya.
Kecerdasan spiritual harus kita kembangkan agar kita bahagia. Kebahagiaan dapat kita rasakan hanya jika kita menggantungkan hidup kita kepada Dia, “tempat bergantung” segala sesuatu.
Jadi, kita harus mengenal-Nya agar kita mencintai-Nya, dan setelah itu, dengan sukarela, kita menyerahkan segala urusan kepada Dia.
Syarat mengenal Tuhan ada dua :
1.       Mengenal dunia.
2.       Mengenal diri pribadi.
Mengapa begitu?
Karena kita tak kan mungkin mengenal  Tuhan SECARA LANGSUNG, karena Dialah kesempurnaan yang berada DI LUAR nalar kita.
Karena sesuai hukum alam, yakni bila ingin benar-benar mengenali sesuatu, maka PELAJARILAH KEBALIKAN DARI SESUATU ITU. Misal tuk mengenal KETINGGIAN, kita terlebih dulu harus mengenal KERENDAHAN. Untuk mengenal UTARA, maka kenalilah SELATAN. Untuk mengenal KESEMPURNAAN, maka kenalilah KETIDAKSEMPURNAAN. Bukankah kita sering tidak “ngeh” atau tidak “nyadar” terhadap terangnya siang, jika kita belum pernah tahu betapa gelapnya malam. Alangkah memprihatinkannya manusia, yang sering lupa, padahal dia sendiri belum tentu benar. Dan, ketidaksempurnaan tersebut ada pada dunia, dan kita ini, yakni manusia.

Sayuran Layu Mengantarkannya ke Surga



Sayyid Ali al Qazi adalah seorang ulama islam yg mengajar pelajaran etika di kota Najaf. 
Suatu ketika muridnya melihat Sayyid pergi ke sebuah warung. 
Kemudian Sayyid mulai memilih sayuran, tapi tidak seperti pembeli pada umumnya, 
Sayyid membeli sayuran yang layu.

Muridnya yang melihatnya tersebut lalu memutuskan untuk menemui 
Sayyid dan bertanya mengapa Sayyid memilih membeli sayuran yang layu daripada yang segar.

Sayyid menjawab bahwa ia mengetahui bahwa pemilik warung tersebut adalah seorang yang miskin. 
Dan Sayyid tidak ingin menjadikan orang tersebut malu jika ia menolong tanpa alasan. 
Dengan Sayyid membeli sayuran yang layu, 
maka ia memperoleh kesempatan untuk menolong pemilik warung yang miskin itu.

Sayyid berkata, 
"Bagi saya, tidak masalah dengan kondisi sayuran yang saya beli,
apakah itu segar atau layu. 
Terutama ketika saya tahu bahwa tidak ada seorangpun yang akan membeli 
sayuran layu dari pemilik warung itu, yang mana hal itu akan menyebabkan kerugian baginya."

Pemuda yang Sedang Menunggu Tuhannya




Seorang pemuda sedang duduk di sebuah ruangan. Dia sedang menunggu seseorang yang akan mengujinya dalam tes wawancara perekrutan karyawan baru. Kakinya digerak-gerakkan, sementara wajahnya berkerut-kerut, tandanya dia dalam kecemasan yang sangat. Sementara , di sampingnya, duduk pula seorang pemuda yang punya kepentingan yang sama.
Pemuda yang kedua mengulurkan tangannya mengajak berkenalan, “Hai, kenalkan saya Andi”. Pemuda yang pertama menjawab, Oh, iya. saya Rano”. Setelah berbasa-basi sekadarnya, pemuda yang bernama Rano itu berkata, “Maaf Andi, aku lihat dari tadi kamu tenag-tenag saja. Apakah kamu tidak cemas menunggu Pak Anton, orang yang akan menguji kita itu. Kata teman-temanku, dia sangat galak dan suka mengejek. Mereka bilang, lebih baik bertemu macan daripada bertemu dia”.
“Aku tahu”.
“Lalu, mengapa kamu tidak takut?”.
“Karena aku sedang menunggu Tuhanku yang Maha Pengasih”.
“Apa kau bilang, bukankah kau ke sini mau tes wawaancara, bukan mau sembahyang?”.
“Iya”.
“Artinya, kamu menunggu Pak Anton, kan?”.
“Tidak, aku sedang menunggu Tuhan”.
“Aku tidak mengerti”.
“”Baiklah. Memang, tampaknya aku sedang menunggu Pak Anton, tapi sebenarnya aku sedang menunggu Tuhan. Aku sedang menunggu Tuhan berkehendap apa terhadap diriku hari ini. Kalau Tuhanku berkehendak pak Anton tersenyum ramah, berkata lembut, dan menerimaku sebagai karyaawan baru, tentu aku akan sangat bersyukur. Kalau ternyata Dia menyuruh Pak Anton membentak aku, memaki, mengejekku, dan tidak menerima aku sebagai karyawan baru, ya aku harus menerima dengan ikhlas. Bukankah apa yang Dia kehendaki selalu baik bagi hamba-Nya?”
“Pantas, kau begitu tenang, Andi”.
:D:D:D:D:D:D:D:D:D:D:D:D:D:D:D:D:D:D:D:D:D:D:D:D
Jadi, Tuhan senantiasa hadir. Kadang kala, Dia hadir di dalam keindahan gunung-gunung ; kadang kala, Dia hadir dalam ganasnya ombak lautan. Dia selalu hadir, tergantung kita menyadarinya atau tidak.
< Diambil dari buku “Kaya Tapi Miskin” karangan Mustamir diterbitkan oleh Diva Press cetakan tke II Januari 2009 >

Andai Orangtuaku Bukan Mereka




Tadi siang, aku menonton film Coraline yang dikasih sama temanku beberapa hari yang lalu. Film itu bercerita tentang seorang anak bernama Coraline yang tinggal di rumah baru yang berada di luar kota bersama orang tua yang super sibuk. Orang tua yang menurutnya sangat tidak ideal. Ayah ibunya seorang penulis yang sibuk, disiplin, mandiri dan terkesan cuek. Bahkan saking sibuknya, mereka pun harus berbagi tugas secara adil. Ayah yang memasak dan ibu membersihkan rumah. Menurut Coraline, itu sangat tidak lazim dan tidak menyenangkan baginya.

Ia ingin sekali memiliki orang tua yang ideal. Menurutnya, orang tua ideal adalah orang tua yang selalu menuruti dan memenuhi semua keinginannya. Ibunya harus pandai memasak, ayahnya harus lucu dan selalu menyediakan waktu untuk bermain dengannya. Coraline juga ingin bermain dan berpetualang sepuasnya tanpa larangan dari mereka. Pokoknya dia ingin selalu bersenang-senang dan hidup bebas.

Sampai akhirnya pada suatu malam dia bermimpi. Bermimpi berada di rumah yang sangat mirip dengan rumahnya dan orang tua yang mirip dengan orang tuanya. Hanya saja, mereka bermata kancing. Bahkan semua penghuni rumah dan lingkungannya bermata kancing. Mereka menyebut diri mereka, “orang tua Coraline yang lain”. Ibu Coraline yang lain sangat lembut, baik, pandai memasak makanan yang lezat dan selalu membolehkan Coraline bermain dan bersenang-senang sepuasnya. Sementara ayah Coraline yang lain, pandai bermain piano, suka melucu, selalu mengajak Coraline bersenang-senang dan memenuhi semua keinginannya. Benar-benar orang tua ideal dan berbeda jauh dari orang tua Coraline yang asli.

Awalnya Coraline sangat bahagia bersama mereka. Dia ingin tinggal di sana selamanya. Tapi, keadaan berubah sejak dia tahu bahwa ada satu syarat yang harus dipenuhi jika dia ingin tinggal di sana. Yaitu, dia harus rela mencopot kedua matanya dan diganti dengan mata kancing! Mata yang serupa dengan orang tua Coraline yang lain. Tentu saja hal itu membuat Coraline sangat terkejut. Dia tidak ingin matanya diganti dengan mata kancing, apalagi harus dijahit dengan benang kasur yang sangat besar dan tajam. Itu sangat mengerikan!

Coraline berusaha menghindar dan ingin kembali ke rumahnya yang asli. Dia ingin pergi tidur dengan harapan begitu dia bangun, dia bisa kembali ke rumahnya dan bersama orang tuanya yang asli. Tapi, ternyata dia sama sekali tidak bisa tidur dan orang tua Coraline yang lain dan menurutnya ideal itu, berubah menjadi monster yang sangat mengerikan. Dia ingin mengganti mata Coraline dengan mata kancing dan menculik orang tua Coraline yang asli serta menyembunyikan mereka di dalam sebuah bola kristal mainan milik Coraline.

Akhirnya, pertempuran pun dimulai. Coraline harus berhasil menemukan 3 pasang mata anak-anak yang diculik dan diambil jiwanya oleh orang tua Coraline yang lain. Pertempuran berlangsung sangat seru dan menegangkan. Walaupun Coraline berhasil menemukan 3 pasang mata anak-anak tersebut, tapi masih ada satu masalah lagi. Yaitu, dia harus memusnahkan kunci yang menghubungkan antara pintu rumahnya yang asli, dengan pintu rumah impiannya dimana orang tua Coraline yang lain tinggal.

Akhirnya, dia berlari menuju ke sebuah sumur tua yang berada jauh dari rumahnya dan berusaha membuang kunci tersebut ke sumur setelah bertarung dengan tangan monster ibu palsunya. Usahanya berhasil setelah dia dibantu oleh temannya yang bernama Wybern. Ketika dia kembali ke rumahnya, ternyata mainan bola kristalnya pecah dan mengotori lantai. Saat itulah, Coraline terbangun dari tidurnya. Orang tua Coraline pulang dari berbelanja dan ketika mereka melihat mainan itu pecah, ibunya langsung mengomel dan menasihati Coraline agar tidak ceroboh lagi.

Tapi, walaupun Coraline dimarahi orang tuanya, dia sangat bahagia karena akhirnya dia bisa bertemu dan tinggal bersama orang tuanya yang asli. Dia tidak lagi berpikir untuk mencari orang tua yang lain lagi. Karena dia akhirnya sadar bahwa, walaupun mereka bukanlah orang tua ideal, tapi mereka tetaplah orang tua yang terbaik untuknya. Dan orang tuanya ternyata tidak seburuk yang ia duga selama ini. Mereka tetaplah orang tua yang sangat perhatian, meski mereka punya cara tersendiri dalam mengekspresikan perhatian mereka pada Coraline. Orang tua Coraline juga tidak bermaksud untuk bersikap kaku dan cuek, bahkan mereka sayang pada Coraline. Mereka hanya ingin Coraline menjadi anak yang mandiri dan disiplin meski kurang tepat penyampaiannya. Pada akhir film, orang tua Coraline pun akhirnya belajar dan berusaha untuk menjadi orang tua yang lebih baik dan menyenangkan. Dan Coraline sangat bahagia memiliki orang tuanya yang sekarang.

Hikmah dari cerita tersebut adalah, bahwa...

Orang tua kita mungkin tidak sesempurna yang kita impikan. Mereka mungkin tidak selalu memenuhi semua keinginan kita, tidak memberi kebebasan seperti yang kita harapkan, suka memberi perintah yang tidak kita inginkan, suka melarang kita melakukan hal-hal yang kita sukai, kaku, otoriter, pokoknya ngga ideal menurut kita. Tapi, mereka tetaplah orang tua yang terbaik yang diberikan Allah untuk kita.

Setelah aku renungkan lebih dalam dan ku pahami lebih jauh. Aku paham bahwa, seandainya orang tuaku bukanlah mereka, mungkin hidupku takkan sebaik yang aku jalani hari ini.

Seandainya bapakku tidak mengolok-olok kesukaanku membaca dan mengoleksi buku, mungkin aku takkan se-delight ini terhadap buku. Seandainya orang tuaku tidak mencibir tingkah laku-ku dan melarangku ikut Rohis, mungkin aku takkan sehati-hati ini dalam bertindak sebagai seorang muslimah. Seandainya orang tuaku tidak melarangku memakai jilbab besar (padahal menurutku jilbabku tidak terlalu besar), mungkin aku takkan sekuat ini mempertahankan jilbabku. Seandainya orang tuaku tidak melarangku ikut Liqo, mungkin aku takkan pernah sekuat ini memegang komitmen untuk terus mengkaji keislaman secara utuh. Seandainya orang tuaku tidak berusaha menjauhkan aku dari HPA, mungkin aku takkan bisa sedekat ini merasakan indahnya hidup sehat sesuai syariat dan ekonomi Islam yang kaffah.

Seandainya orang tuaku tidak mencela, bahkan menjatuhkan organisasi dakwah yang aku ikuti selama ini, mungkin saja aku tidak akan punya militansi yang lebih untuk membuktikan kesetiaanku dan saudara-saudariku pada keimanannya dan komitmen-komitmen kebaikannya. Aku dan saudara-saudariku memang bukan muslim yang sempurna dan ma’shum. Tapi, diantara sekian banyaknya kelemahan dan keterbatasan kami sebagai manusia, kami akan membuktikan bahwa kami akan selalu berusaha menjadi muslim/ah yang kaffah dan istiqomah di jalan Allah.

Dan seandainya orang tuaku bukan mereka, belum tentu hidupku sebaik hari ini.

Aku mungkin akan menjadi orang yang “seadanya” dalam mengkaji keislaman, menjadi muslimah yang tidak peduli akan nilai-nilai Islam dalam keseharian, merasa “cukupan” dalam beribadah, tidak punya spirit untuk berakhlak baik, hanya “sekedar prihatin” terhadap keadaan sesama muslim, tidak memiliki kebanggaan menjadi seorang muslim, tidak punya semangat juang untuk menjadi muslimah yang lebih baik dari hari ini, yang berusaha untuk kaffah dan istiqomah, dan tidak mau take action untuk mengubah keadaan yang buruk menjadi lebih baik dengan amal jama’i.

Walaupun aku masih jauh dari sempurna dan aku tahu sangat sulit untuk meraih kesempurnaan itu, tapi aku akan tetap berusaha untuk meraihnya.

Karena akhirnya aku sadar bahwa, memiliki orang tua seperti mereka, mungkin merupakan salah satu cara Allah swt mendidik aku agar aku menjadi muslimah yang lebih tangguh dalam menjalani kehidupan. Dan sebagai hamba Allah, kita tidak boleh menyombongkan tingginya tingkat keimanan kita saat ini. Kita juga tidak boleh merasa aman dan tahan dari gangguan setan. Justru semakin tinggi tingkat keimanan kita, setan-setan yang menggoda akan semakin gencar dan kuat dalam menjerumuskan kita pada keburukan.

Tapi, tak usah khawatir. Kita khan masih punya Allah swt.

“Hanya kepada Allah-lah kita mencukupkan diri. Hanya kepada-Nya-lah kita menyerahkan segala solusi dari semua masalah kita. Karena hanya Dia-lah yang mampu menyelesaikan semua urusan-urusan kita. Maka aku yakin, jika aku bergantung sepenuhnya pada Allah, maka tak ada urusan yang sulit untuk diselesaikan. Tak ada impian, yang sulit untuk dicapai. Dan tak ada hati yang keras, yang sulit untuk dilembutkan. Semua pasti bisa diselesaikan dengan MUDAH dan CEPAT oleh Allah swt. Hasbunallah wa ni’mal wakiil... Ni’mal maulaa wa ni’man nashiir...”


Template by:
Free Blog Templates